Beberapa dari kalian mungkin pernah mendengar tentang analisis fundamental dan teknikal dalam investasi saham. Keduanya adalah dasar yang sering digunakan investor dan trader dalam memilih saham.
Kali ini, kita akan membahas analisis rasio keuangan, bagian penting dari analisis fundamental yang harus dipahami oleh investor pemula.
Kenapa ini penting? Belakangan, banyak fenomena "pom-pom" saham yang dilakukan oleh oknum influencer melalui media seperti YouTube atau Telegram.
Mereka memberikan rekomendasi saham tanpa edukasi atau alasan yang jelas, seringkali hanya untuk menaikkan harga saham demi keuntungan pribadi.
Meskipun langkah mereka seringkali berhasil menaikkan harga saham, begitu harga naik, oknum ini justru menjual sebagian besar atau seluruh saham yang mereka miliki.
Akibatnya, investor ritel yang baru membeli bisa dirugikan karena harga saham akan turun drastis akibat penjualan besar-besaran.
Oleh karena itu, penting bagi investor pemula untuk mandiri dalam memilih saham, agar terhindar dari jebakan pom-pom yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Definisi Analisis Fundamental Saham
Analisis fundamental saham adalah metode untuk menilai nilai intrinsik sebuah emiten saham. Metode ini dilakukan dengan memeriksa kondisi keuangan perusahaan, industri tempatnya beroperasi, hingga faktor makroekonomi.
Analisis ini juga mencakup efektivitas pengelolaan usaha dan posisi perusahaan dalam menghadapi persaingan di industrinya.
Dengan analisis fundamental, investor bisa mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai harga saham, sehingga dapat membuat keputusan investasi yang bijak.
Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah suatu saham sedang overvalue (bernilai terlalu tinggi) atau undervalue (bernilai lebih rendah dari seharusnya).
Dalam prosesnya, ada berbagai rasio keuangan yang bisa digunakan untuk mengukur nilai dari sebuah emiten saham.
Earning Per Share (EPS)
Rasio keuangan pertama dalam analisis fundamental adalah Earning Per Share (EPS). Rasio ini menunjukkan berapa laba yang dihasilkan per lembar saham dari suatu emiten. Cara menghitungnya cukup sederhana: laba bersih dibagi dengan jumlah lembar saham yang beredar.
Simulasi sederhana bisa membantu memahami konsep ini. Misalnya, ada perusahaan B yang bergerak di industri F&B dengan 50.000 lembar saham beredar.
Pada tahun 2023, perusahaan B memperoleh laba bersih sebesar Rp 500.000.000.
Jika kamu memiliki 1 lembar saham perusahaan B dengan harga Rp 100.000, maka EPS-nya adalah Rp 10.000. EPS ini juga bisa digunakan untuk memperkirakan kapan kamu akan balik modal.
Misalnya, jika EPS tetap stabil, kamu bisa memperkirakan bahwa dalam 10 tahun ke depan, investasimu akan kembali.
Namun, apakah EPS yang stabil saja cukup menjadi pertimbangan dalam menilai perusahaan yang baik? Salah satu ciri penting dari perusahaan yang sehat adalah EPS-nya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Price to Earning Ratio (PER)
Rasio ini digunakan untuk membandingkan harga saham dengan laba perusahaan. Cara menghitungnya melibatkan tiga komponen: laba bersih tahunan, jumlah saham beredar, dan harga saham. Rumusnya adalah harga saham dibagi dengan EPS (laba per saham).
Misalnya, ada perusahaan D dan perusahaan E. Saham D dihargai Rp 5.000, sementara saham E dihargai Rp 4.000. Apakah saham E lebih murah dari saham D? Belum tentu. Mari kita simulasikan.
Perusahaan D memiliki laba bersih sebesar Rp 250.000.000 dan 500.000 lembar saham beredar. Sementara itu, perusahaan E memiliki laba bersih sebesar Rp 300.000.000 dengan 1.000.000 lembar saham beredar.
Untuk menghitung PER, kita perlu membagi harga saham dengan EPS masing-masing perusahaan. Prinsip dari rasio PER adalah semakin kecil nilainya, semakin murah saham tersebut.
Setelah menghitung, ternyata perusahaan D memiliki PER lebih kecil dibandingkan perusahaan E, yang berarti saham D sebenarnya lebih murah, meskipun harga sahamnya lebih tinggi secara nominal.
Itulah kegunaan rasio PER untuk menilai apakah harga saham suatu emiten tergolong mahal atau murah.
Price to Book Value (PBV)
Price to Book Value (PBV) adalah rasio yang membandingkan harga saham dengan nilai buku perusahaan. Rasio ini sering digunakan investor untuk menganalisis apakah harga saham saat ini tergolong murah atau mahal.
Cara menghitung PBV adalah dengan membagi harga saham saat ini dengan nilai buku per lembar saham (book value per share).
Nilai buku per lembar saham sendiri diperoleh dengan membagi total ekuitas perusahaan dengan jumlah saham yang beredar.
Umumnya, PBV diukur dengan metode PBV > 1 atau PBV < 1. Apa artinya? Jika PBV > 1, berarti saham tersebut dianggap mahal, sedangkan PBV < 1 menunjukkan bahwa saham itu murah.
Namun, biasanya, perusahaan yang baik cenderung memiliki PBV di atas 1. Ini mengindikasikan bahwa pasar memberikan nilai lebih terhadap potensi pertumbuhan dan kinerja perusahaan.
Return On Equity (ROE)
ROE adalah rasio penting yang perlu kamu ketahui. Dengan ROE, kita bisa menilai seberapa baik kinerja suatu perusahaan dan seberapa besar keuntungan yang dihasilkan. Singkatnya, ROE mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dibandingkan dengan modal yang dimilikinya.
Misalnya, jika kita berinvestasi di perusahaan yang memiliki modal sebesar Rp 15.000.000 dengan laba bersih Rp 3.000.000, maka ROE-nya adalah 20%. Dengan angka tersebut, kita bisa memperkirakan bahwa investasi ini akan kembali dalam waktu sekitar 5 tahun.
ROE yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut efisien dalam menggunakan modal untuk menghasilkan laba.
Debt to Equity Ratio (DER)
Meskipun perusahaan sudah memiliki modal sendiri, sering kali mereka juga memiliki utang untuk mempercepat pengembangan usahanya. Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang membandingkan jumlah utang dengan modal perusahaan.
Jika DER < 100%, artinya utang perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan modal yang dimiliki. Sebaliknya, jika DER > 100%, berarti utang perusahaan lebih besar daripada modal.
Ada kelebihan dan kekurangan dalam hal ini. DER yang tinggi bisa memberikan perusahaan lebih banyak dana untuk mengembangkan usaha, tetapi di sisi lain, ada risiko gagal bayar atau bahkan kebangkrutan jika utang tidak dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi DER dalam konteks keseluruhan kinerja dan strategi perusahaan.
Dividend Yield (DY)
Rasio terakhir yang penting untuk diperhatikan adalah Dividend Yield. Dividend Yield menunjukkan persentase nilai dividen dibandingkan dengan harga saham perusahaan terkait.
Dividen per saham biasanya ditentukan setelah mengetahui Dividend Payout Ratio yang disepakati dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan.
Nilai dividen ini diperoleh dari pembagian antara laba ditahan dengan jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham.
Rasio ini sangat berguna bagi investor yang mencari pendapatan pasif dari investasinya, karena memberikan gambaran tentang seberapa besar pengembalian yang dihasilkan dari dividen dibandingkan dengan harga saham yang dibeli.
2 Macam Pendekatan dalam Analisa Fundamental Saham
Ketika menganalisis saham secara fundamental, terdapat dua pendekatan yang dapat kamu pilih: pendekatan Top Down dan Bottom Up.
Pendekatan Top Down
Pendekatan top down dalam analisa fundamental saham dimulai dengan melihat kondisi ekonomi secara makro sebelum menyempit ke tingkat yang lebih spesifik, seperti analisa sektor, industri, dan akhirnya fundamental perusahaan tertentu.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengidentifikasi sektor atau industri dengan potensi pertumbuhan di masa depan, berdasarkan faktor-faktor ekonomi makro.
Faktor-faktor tersebut mencakup kondisi ekonomi global, inflasi, angka pengangguran, suku bunga, nilai tukar, kebijakan pemerintah, dan lainnya.
Setelah menentukan sektor atau industri yang menarik, investor akan memilih perusahaan-perusahaan dengan kinerja dan prospek yang baik dalam sektor tersebut.
Investor kemudian dapat menilai fundamental perusahaan melalui berbagai metode, seperti analisis rasio keuangan yang telah dibahas sebelumnya.
Contohnya, ketika kondisi ekonomi sedang tumbuh pesat, saham-saham di sektor konsumsi, properti, dan infrastruktur biasanya lebih diminati investor karena meningkatnya permintaan.
Sebaliknya, dalam kondisi ekonomi yang melambat atau resesi, investor cenderung beralih ke instrumen yang lebih aman seperti emas atau deposito.
Jika tetap memilih saham, mereka biasanya akan berinvestasi di saham-saham sektor defensif, seperti kesehatan, telekomunikasi, dan utilitas (listrik, gas, dan air).
Pendekatan Bottom Up
Berbeda dengan pendekatan top down, pendekatan bottom up dalam analisa fundamental saham dimulai dari tingkat yang spesifik, yaitu perusahaan, dan kemudian meluas ke tingkat yang lebih umum, yaitu industri dan sektor.
Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan perusahaan-perusahaan dengan kualitas dan nilai yang unggul, tanpa terlalu memperhatikan kondisi ekonomi makro atau tren industri yang lebih luas.
Sebagai contoh, seorang investor dapat memulai dengan menganalisis kinerja keuangan dan fundamental dari saham yang diminati.
Setelah memahami profil perusahaan tersebut, investor dapat membandingkan kinerja dan prospek masa depan saham itu dengan saham-saham kompetitornya yang berada dalam sektor atau industri yang sama.
Setelah melakukan perbandingan, investor dapat melanjutkan dengan analisis tambahan, seperti melihat faktor-faktor ekonomi makro, regulasi, dan tingkat permintaan pasar.
Hal ini penting untuk memastikan apakah saham yang dipilih layak untuk investasi jangka panjang.
Pendekatan ini memungkinkan investor untuk menemukan peluang yang mungkin terabaikan oleh analisa makro, memberikan fokus pada kualitas individu perusahaan.
Demikian penjelasan singkat mengenai analisis fundamental dalam memilih suatu saham. Semoga penjelasan ini bisa menjadi pengetahuan yang berguna ke depannya untuk para investor pemula dalam menganalisis fundamental perusahaan.
Tentunya, terdapat berbagai fitur yang sangat membantu kamu dalam menganalisis secara fundamental emiten saham. Jadi, tunggu apalagi? Segera berinvestasi saham dan manfaatkan semua sumber daya yang tersedia untuk mendukung keputusan investasimu.
Tidak ada komentar: